Selasa, 26 Juni 2012

Larangan Berdebat, Jidal dan Bertengkar, Khususnya Dalam Masalah Al-Qur'an

Larangan Berdebat, Jidal dan Bertengkar, Khususnya Dalam Masalah Al-Qur



Allah SWT berfirman, “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (darimu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan,” (Al-Baqarah: 204-205). 
Allah SWT berfirman, “Maka sesungguhnya, telah kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al-Qur’an itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang,” (Maryam: 97).
Allah SWT berfirman, “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar,” (Az-Zukhruf : 58).
Diriwayatkan dari Abu Umamah r.a., ia berkata: “Rasulullah saw .bersabda, ‘Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapat petunjuk kecuali karena mereka gemar berdebat. Kemudian Rasulullah saw. membacakan ayat, ‘Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.’ (Az-Zukhruf: 58).” (Hasan, HR Tirmidzi [3253], Ibnu Majah [48], Ahmad [V/252-256], dan Hakim [II/447-448]).
Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras penantangnya lagi lihai bersilat lidah’.” (HR Bukhari [2457] dan Muslim [2668]).
Diriwayatkan dari Ziyad bin Hudair, ia berkata, “Umar pernah berkata kepadaku, ‘Tahukah engkau perkara yang merobohkan Islam?’ ‘Tidak! Jawabku.’ Umar berkata, ‘Perkara yang merobohkan Islam adalah ketergelinciran seorang alim, debat orang munafik tentang Al-Qur’an dan ketetapan hukum imam yang sesat’.” (Shahih, HR Ad-Darimi [I/71], al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih [I/234], Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd [1475], Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [IV/196]).
Diriwayatkan dari Abu Ustman an-Nahdi, ia berkata, “Aku duduk di bawah mimbar Umar, saat itu beliau sedang menyampaikan khutbah kepada manusia. Ia berkata dalam khutbahnya, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya, perkara yang sangat aku takutkan atas ummat ini adalah orang munafik yang lihai bersilat lidah’.” (Shahih, HR Ahmad [I/22 dan 44], Abu Ya’la [91], Abdu bin Humaid [11], al-Firyabi dalam kitab Shifatul Munaafiq [24], al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimaan [1641]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw., “Perdebatan tentang Al-Qur’an dapat menyeret kepada kekufuran.” (HR Abu Daud [4603], Ahmad [II/286, 424, 475, 478, 494, 503 dan 528], Ibnu Hibban [1464]).
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru r.a., ia berkata, “Pada suatu hari aku datang menemui Rasulullah saw pagi-pagi buta. Beliau mendengar dua orang lelaki sedang bertengkar tentang sebuah ayat. Lalu beliau keluar menemui kami dengan rona wajah marah. Beliau berkata, ‘Sesungguhnya, perkara yang membinasakan ummat sebelum kalian adalah perselisihan mereka al-Kitab’.” (HR Muslim [2666]).
Diriwayatkan dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya (yakni ‘Abdullah bin ‘Amru r.a.), bahwa suatu hari Rasulullah saw. mendengar sejumlah orang sedang bertengkar, lantas beliau bersabda,“Sesungguhnya, ummat sebelum kalian binasa disebabkan mereka mempertentangkan satu ayat dalam Kitabullah dengan ayat lain. Sesungguhnya Allah menurunkan ayat-ayat dalam Kitabullah itu saling membenarkan satu sama lain. Jika kalian mengetahui maksudnya, maka katakanlah! Jika tidak, maka serahkanlah kepada yang mengetehuinya.” (Hasan, HR Ibnu Majah [85], Ahmad [II/185, 195-196], dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [121]).
Kandugan Bab: 
  1. Ayat-ayat dan hadits-hadits yang kami sebutkan di atas secara tegas melarang jidal dan perdebatan. (Akan tetapi) siapa saja yang mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah serta atsar para Salaf tentu akan mendapati anjuran beradu argumentasi dan berdebat. Di antaranya adalah firman Allah SWT, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (An-Nahl: 125).
    Dan firman Allah SWT, “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik,” (Al-Ankabuut: 46).
    Ayat-ayat dalam Kitabullah tidaklah bertentangan satu sama lainnya, bahkan saling membenarkan. Dari situ dapatlah kita ketahui bahwa jidal dan debat yang dicela dalam Al-Qur’an tidak sama dengan jidal dan debat yang dianjurkan. Jidal dan debat itu ada yang terpuji dan ada yang tercela. Kedua jenis itu sama-sama disebutkan dalam Al-Qur’an. Adapun jidal yang tercela disebutkan dalam firman Allah SWT, “(Yaitu) orang orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang beriman.” (Ghaafir: 35).
    Jadi jelaslah, jidal yang tercela itu adalah jidal tanpa hujjah, jidal dalam membela kebathilan dan berdebat tentang Al-Qur’an untuk mencari-cari fitnah dan takwil bathil.
    Adapun jidal yang terpuji adalah nasihat untuk Allah, Rasul-Nya, Kitab-Nya, para imam dan segenap kaum Muslimin. Nabi Nuh as sering beradu argumentasi dengan kaumnya hingga beliau menegakkan hujjah atas mereka dan menjelaskan kepada mereka jalan yang benar.
    Allah SWT berfirman, "Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami,” (Huud: 32).
    Demikianlah sunnah Rasulullah saw. dan sirah (sejarah hidup) generasi Salaf terdahulu r.a. Jadi jelaslah, jidal yang terpuji tujuannya adalah membela kebenaran dan untuk mencari kebenaran, untuk menampakkan kebathilan dan menjelaskan kerusakannya. Adapun jidal yang tercela adalah sikap menentang dan bersitegang urat leher dalam adu argumentasi untuk membela kebathilan dan menolak kebenaran.
  2. Ibnu Hibban berkata (IV/326), “Jika seseorang berdebat tentang Al-Qur’an, maka apabila Allah tidak melindunginya ia akan terseret kepada keraguan dalam mengimani ayat-ayat mutasyabihat. Jika sudah disusupi keraguan, maka ia akan menolaknya. Rasulullah saw. menyebutnya sebagai kekufuran yang merupakan salah satu bentuk penolakan yang berpangkal dari perdebatan.”
  3. Oleh sebab itu, seorang Muslim harus mengimani seluruh ayat-ayat Al-Qur’an, yang muhkam maupun yang mutasyaabih. Karena semuanya berasal dari Allah. Jika ia tidak mengetahui, hendaklah bertanya kepada ahli ilmu atau menyerahkan masalah kepada orang yang mengetahuinya. Ia tidak boleh bertanya kepada orang yang tidak mengetahuinya.
  4. Perselisihan tentang Al-Qur’an dapat menyeret kepada sikap mempertentangkan satu ayat dengan ayat lainnya. Kemudian dari situ akan muncul sikap melepaskan diri dari hukum-hukumnya dan mengubah hukum halal haramnya. Kemudian akan berlakulah sunnatullah pada ummat terdahulu atas orang-orang yang saling berselisih itu, yakni kebinasaan dan kehancuran.
    Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/210 - 215.
    Oleh: Fani

Tidak ada komentar: